Jakarta – Kapal perikanan dan Coast Guard China memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna, Kepulauan Riau. Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menyatakan kegiatan kapal China menangkap ikan di wilayah ZEE Indonesia sebagai pelanggaran hukum.
“Saat kapal-kapal berbendera Tiongkok melakukan penangkapan ikan di Laut Natuna Utara, keseluruhan syarat tersebut di atas jelas tidak dipenuhi. Dengan demikian, kegiatan penangkapan ikan oleh kapal perikanan berbendera Tiongkok di wilayah ZEEI jelas merupakan pelanggaran hukum,” kata Chief Executive Officer IOJI, Mas Achmad Santosa, lewat keterangannya, Kamis (9/1/2020).
Mas Achmad Santosa diketahui pernah menjadi Ketua Tim Satgas Pencegahan dan Pemberantasan Illegal ketika Susi Pudjiastuti menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Sama seperti Indonesia, kata Mas Achmad, China juga menandatangani Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS).

Dia menegaskan, China harus menaati UNCLOS. China harus hak berdaulat (sovereign rights) Indonesia atas sumber daya alam di Laut Natuna Utara.
“Oleh karena itu, baik Indonesia dan Tiongkok terikat pada ketentuan UNCLOS yaitu Indonesia secara mutlak memiliki sovereign rights di Laut Natuna Utara,” ujarnya.
Mas Achmad atas pelanggaran yang dilakukan tersebut, Indonesia bisa saja mengambil langkah penegakan hukum. Indonesia berhak menangkap kapal yang mengambil ikan di wilayah ZEE.
“Pemerintah Indonesia, berdasarkan pasal 73 ayat 1 UNCLOS, dalam rangka melindungi hak berdaulatnya atas sumber daya ikan di Laut Natuna Utara berhak untuk mengambil tindakan yang diperlukan, termasuk melakukan penangkapan kapal-kapal dimaksud dan menindaklanjuti dengan langkah-langkah penegakan hukum,” kata dia.
Mas Achmad juga memaparkan langkah-langkah yang bisa dilakukan Indonesia untuk mencegah penerobosan kapal ikan asing di wilayah ZEE. Untuk konteks Natuna, dia mengatakan China telah melakukan pelanggaran secara berulang.
Berkenaan dengan terulangnya kembali pelanggaran hukum oleh kapal perikanan berbendera Tiongkok berupa penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, tepatnya di Laut Natuna Utara yang merupakan Wilayah Pengelolaan Perikanan 711, kami menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pada pasal 56 ayat (1) huruf a Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS), secara tegas disebutkan bahwa:
“In the exclusive economic zone, the coastal State has: sovereign rights for the purpose of exploring and exploiting, conserving and managing the natural resources, whether living or non-living, of the waters superjacent to the seabed and of the seabed and its subsoil, and with regard to other activities for the economic exploitation and exploration of the zone, such as the production of energy from the water, currents and winds;”
. Laut Natuna Utara adalah wilayah laut yang merupakan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) karena masuk dalam rentang jarak 200 nautical miles dari garis dasar (baseline) sebagaimana dimaksud pada pasal 57 UNCLOS, sehingga Indonesia memiliki hak berdaulat (sovereign rights) terhadap sumber daya alam di Laut Natuna Utara sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 56 ayat (1) huruf a di atas.
3. Indonesia telah menandatangani UNCLOS pada tanggal 10 Desember 1982 dan meratifikasinya tanggal 3 Februari 1986. Tiongkok juga telah menandatangani UNCLOS pada tanggal 10 Desember 1982 dan meratifikasinya pada tanggal 7 Juni 1996. Oleh karena itu, baik Indonesia dan Tiongkok terikat pada ketentuan UNCLOS yaitu Indonesia secara mutlak memiliki sovereign rights di Laut Natuna Utara.
4. Mengenai klaim ‘nine-dash line’ oleh pemerintah Tiongkok yang didasarkan pada sejarah perikanan, the Permanent Court of Arbitration pada sengketa Filipina vs. China telah menyatakan bahwa, “… China’s claims to historic rights, or other sovereign rights or jurisdiction, with respect to the maritime areas of the South China Sea encompassed by the relevant part of the ‘nine-dash line’ are contrary to the Convention and without lawful effect to the extent that they exceed the geographic and substantive limits of China’s maritime entitlements under the Convention. The Tribunal concludes that the Convention superseded any historic rights or other sovereign rights or jurisdiction in excess of the limits imposed therein” (Paragraf 278 PCA Award 12 Juli 2016). Pernyataan tersebut didasarkan pada berbagai pertimbangan antara lain:
- Klaim historic rights sahih saat hak yang dimaksud adalah hak selain dari yang diperbolehkan menurut freedom of the high seas. Intensnya kegiatan pelayaran dan perikanan oleh China di South China Sea dapat terjadi memang karena hak tersebut adalah hak segala bangsa dibawah konsep freedom of the high seas sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk mengklaim secara ekslusif historic rights (Paragraf 269 & 270 PCA Award 2016).
- Selain itu, sebuah negara harus dapat mengajukan bukti-bukti yang kuat untuk dapat mengklaim historic rights. Bukti-butki tersebut harus memenuhi 3 (tiga) unsur: (i) bahwa hak dimaksud telah dinikmati/dilaksanakan secara lama dan terus menerus; (ii) bahwa selama pelaksanaan hak oleh negara tersebut, ia juga melarang dan mencegah negara lain untuk menikmati hak dimaksud; dan (iii) negara lain menerima/setuju dengan larangan dan cegahan tersebut (Paragraf 270 & 275 PCA Award 2016). Pada faktanya, banyak negara yang melakukan kegiatan pelayaran dan perikanan di Laut China Selatan dan juga banyak negara memberikan keberatan atas klaim ‘nine-dash line’.
- Klaim ‘nine-dash line’ tidak sesuai dengan UNCLOS karena jauh melebihi batas zona maritime yang telah diatur (Paragraf 261 PCA Award 2016).
- Dengan meratifikasi UNCLOS, hak-hak negara Tiongkok yang mungkin pernah mereka miliki di masa lampau dikesampingkan (Paragraf 262 PCA Award 2016).
- Dengan meratifikasi UNCLOS, Tiongkok melepas freedom of the high seas yang dulu dapat mereka nikmati (sebelum lahirnya UNCLOS) karena wilayah tersebut menjadi Zona Ekonomi Eksklusif negara lain (Paragraf 271 PCA Award 2016).
5. Berdasarkan poin 1, 2, 3, dan 4 tersebut di atas, hak berdaulat Indonesia di Laut Natuna Utara yang merupakan ZEEI adalah mutlak dan tidak terbantahkan.
6. Di dalam ZEEI, negara lain tetap memiliki hak namun hanya untuk beberapa hal antara lain hak untuk melintas (freedom of navigation), penerbangan, membentangkan kabel bawah laut dan pipa serta hak lainnya yang sesuai dengan UNCLOS (Pasal 58 ayat (1) jo. Pasal 87 UNCLOS). Penting untuk dicatat bahwa negara lain dimaksud dalam melaksanakan haknya wajib untuk menghormati Indonesia yang memiliki yurisdiksi di ZEEI (Pasal 58 ayat (3) UNCLOS).
7. Khusus mengenai perikanan, berdasarkan UNCLOS akses negara lain terhadap stok ikan di ZEEI hanya dapat terjadi melalui 2 (dua) hal, yaitu traditional fishing right serta adanya surplus allowable catch. Mengenai traditional fishing right telah dijelaskan pada poin 1-5 di atas sehingga tidak akan dijelaskan ulang.
8. Berdasarkan Pasal 62 UNCLOS, surplus allowable catch hanya dapat diberikan kepada negara lain jika memenuhi beberapa syarat, yaitu: (i) Indonesia tidak memiliki kapasitas untuk menangkap seluruh allowable catch; (ii) akses terhadap surplus tersebut dirumuskan dalam sebuah perjanjian; (iii) surplus ditujukan pertama-tama kepada land-locked States dan/atau geographically disadvantaged States; (iv) sebelum membuat perjanjian, Indonesia perlu terlebih dahulu mempertimbangkan all relevant factors termasuk: a) signifikansi stok ikan yang akan dibuka aksesnya tersebut kepada perekonomian masyarakat dan kepentingan nasional lainnya, serta b) kebutuhan untuk meminimalkan kesenjangan ekonomi.
9. Saat kapal-kapal berbendera Tiongkok melakukan penangkapan ikan di Laut Natuna Utara, keseluruhan syarat tersebut di atas jelas tidak dipenuhi. Dengan demikian, kegiatan penangkapan ikan oleh kapal perikanan berbendera Tiongkok di wilayah ZEEI jelas merupakan pelanggaran hukum.
10. Pemerintah Indonesia, berdasarkan pasal 73 ayat 1 UNCLOS, dalam rangka melindungi hak berdaulatnya atas sumber daya ikan di Laut Natuna Utara berhak untuk mengambil tindakan yang diperlukan, termasuk melakukan penangkapan kapal-kapal dimaksud dan menindaklanjuti dengan langkah-langkah penegakan hukum.
11. Untuk mencegah berulangnya pelanggaran-pelanggaran hukum oleh kapal-kapal berbendera Tiongkok di Laut Natuna Utara di kemudian hari diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
- PENGUATAN DI BIDANG PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM
![]() |
12. Berkenaan dengan maraknya pemberitaan tentang Laut Natuna Utara akhir-akhir ini, perlu ditegaskan bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara kedaulatan (sovereignty) dengan hak berdaulat (sovereign rights) berdasarkan UNCLOS. Sovereignty berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UNCLOS berlaku di wilayah daratan, perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters) dalam hal negara kepulauan, sampai pada laut territorial yaitu sejauh 12 nautical mile dari garis dasar. Sovereign rights berlaku di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif berdasarkan Pasal 56 UNCLOS dan landas kontinen berdasarkan Pasal 77 ayat (1) UNCLOS.
13. Penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal ikan berbendera Tiongkok di Laut Natuna Utara adalah sebuah pelanggaran yang terjadi di Wilayah ZEEI (di luar 12 nautical mile laut territorial) dan tidak ada kaitannya dengan pelanggaran kedaulatan. Pemerintah RI perlu tegas untuk menindak illegal fishing di wilayah ZEEI karena melanggar hak berdaulat Indonesia. Detik.com





























